https://rentalmobiltegal.com/mengenal-suku-baduy-indonesia/
Indonesia memiliki banyak suku bangsa yang tersebar dari pulau Sumatera hingga Papua dan jumlahnya bisa mencapai ribuan. Pulau Jawa merupakan pulau yang memiliki jumlah suku bangsa terbanyak dan salah satunya adalah Suku Baduy.
Suku Baduy merupakan suku asli Provinsi Banten yang terletak di Kabupaten Lebak, Banten. Tradisi dan budaya menjadi salah satu hal yang sangat dilestarikan oleh Suku Baduy.
Suku Baduy telah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya oleh Pemerintah Daerah Lebak pada tahun 1990. Hal ini dikarenakan wilayah yang membentang dari Desa Ciboleger hingga Desa Rangkasbitung tersebut menjadi tempat tinggal Suku Baduy yang merupakan penduduk asli Provinsi Banten.
Mengenal Suku Baduy Indonesia
Suku Baduy sendiri terdiri dari dua kelompok yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Perbedaan mendasar antara kedua kelompok tersebut terlihat dari cara mereka menerapkan aturan adat. Baduy Dalam masih menjunjung tinggi adat istiadat dan menerapkan aturan dengan baik. Sementara Baduy Luar sudah terkontaminasi dengan budaya luar. Berikut perbedaan lengkapnya!
Baduy Dalam
Suku Baduy Dalam merupakan kelompok masyarakat yang tinggal di wilayah hutan dan juga paling taat terhadap aturan-aturan yang ditetapkan oleh kepala adatnya.
Ciri khas mereka dalam hal ini adalah pakaiannya tidak berkancing dan berkerah, tidak memakai alas kaki dan pakaiannya hanya berwarna putih yang melambangkan kesucian dan budaya yang tidak terpengaruh oleh dunia luar.
Suku ini juga tidak mengikuti perkembangan zaman dan menolak teknologi, uang, dan sekolah. Mereka hanya dapat berkomunikasi dengan bahasa asli mereka, yaitu bahasa Sunda dan membaca huruf atau aksara Hanacara.
Suku Baduy Dalam mendiami tiga kampung yaitu Cikeusik, Cikertawana dan Cibeo yang dipimpin oleh pemimpin adat yang disebut Pu’un.
Pu’un dibantu oleh Jaro sebagai wakilnya dan bertugas menentukan masa tanam dan masa panen, juga menerapkan hukum adat dan mengobati orang sakit.
Baduy Luar
Berbeda dengan Suku Baduy Dalam, Suku Baduy Luar tinggal di daerah yang mengelilingi wilayah tempat tinggal Suku Baduy Dalam. Suku luar ini sudah menerima modernisasi dan juga sudah akrab dengan budaya asing seperti sekolah dan uang.
Karena sudah mengenal uang, sebagian masyarakat Baduy Luar pergi ke luar untuk berjualan madu hutan. Pakaian yang dikenakan oleh masyarakat Baduy Luar juga berbeda dengan masyarakat Baduy Dalam, yaitu berwarna hitam.
Suku Baduy Luar tinggal di 50 desa di wilayah Pegunungan Kendeng.
Sejarah
Ucapan baduy berasal dari peneliti Belanda yang meliat adanya kesamaan antara masyarakat desa kanekes (etnis Banten) dengan masyarakat Badowi dalam bahasa arab. Versi lain menyebutkan bahwa nama Baduy diambil dari nama sungai yang terletak di bagian utara Desa Kanekes, yaitu Sungai Cibaduy .
Mata pencaharian
Masyarakat Baduy bermata pencaharian sebagai petani atau penggarap sawah. Alamnya yang subur memudahkan masyarakatnya untuk menghasilkan berbagai komoditas pangan. Dalam bercocok tanam, masyarakatnya juga tidak menggunakan sapi atau kerbau untuk mengolah lahan.
Suku Baduy juga melarang keras anjing memasuki wilayah tempat tinggal mereka dengan alasan menjaga kelestarian alam. Suku Baduy juga gemar beternak ayam. Namun, mereka hanya akan menyembelih ayam pada hari-hari tertentu seperti upacara adat atau hari pernikahan.
Tempat tinggal
Rumah Baduy terbuat dari kayu dan bambu serta dibangun dengan batu sebagai fondasinya. Rumah Baduy terdiri dari tiga ruangan dengan fungsi yang berbeda-beda.
Bagian depan berfungsi sebagai tempat menerima tamu dan kegiatan menenun bagi kaum perempuan. Bagian tengah merupakan ruang keluarga dan tempat tidur. Sementara bagian belakang digunakan untuk menyimpan hasil panen.
Semua ruangan ditutupi dengan alas yang terbuat dari anyaman bambu. Untuk atapnya menggunakan ijuk atau daun kelapa. Rumah Baduy dibuat saling berhadapan dan selalu menghadap ke utara atau selatan.
Berbeda dengan masyarakat modern, kekayaan masyarakat Baduy Dalam tidak dilihat dari bentuk dan ukuran rumah. Seluruh masyarakat Baduy Dalam memiliki rumah dengan bentuk dan ukuran yang sama. Kekayaan mereka dilihat dari kepemilikan beberapa benda seperti gerabah. Semakin banyak jumlah gerabah yang dimiliki, maka semakin tinggi pula derajat orang tersebut.
Tidak hanya peralatan elektronik, Suku Baduy juga tidak menggunakan perabot rumah tangga seperti piring atau gelas yang terbuat dari logam atau kaca. Mereka lebih suka menggunakan bahan-bahan dari alam. Misalnya, untuk gelas mereka menggunakan potongan bambu.
Tradisi
Setiap wanita Baduy dituntut untuk bisa menenun. Kain tenun bertekstur halus digunakan untuk bahan membuat pakaian, sedangkan kain tenun bertekstur kasar digunakan untuk ikat kepala atau ikat pinggang.
Selain dipakai sendiri, kain tenun Baduy juga diperdagangkan sebagai cinderamata bagi wisatawan .
Selain kain, masyarakat Baduy juga membuat tas dari kulit pohon yang disebut koja atau jarog. Tas ini digunakan untuk menyimpan segala macam barang yang dibutuhkan saat bepergian.
Suku Baduy juga masih menjunjung tinggi budaya perjodohan. Seorang gadis berusia 14 tahun akan dijodohkan dan dijodohkan dengan seorang pria yang juga berasal dari suku tersebut. Selama perjodohan, orang tua laki-laki bebas memilih seorang wanita yang akan menjadi menantunya.
Masyarakat Baduy juga dikenal gemar berjalan kaki. Mereka akan berjalan kaki ke mana pun meskipun jarak yang ditempuh cukup jauh.
Keyakinan
Suku Baduy percaya bahwa mereka adalah keturunan Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa yang diutus ke bumi. Menurut kepercayaan mereka, suku Baduy bertugas menjaga keharmonisan dunia. Kepercayaan ini juga disebut Sunda Wiwitan, yaitu memuja leluhur sebagai bentuk penghormatan.
Terdapat tiga macam dunia dalam kepercayaan Sunda Wiwitan sebagaimana disebutkan dalam syair mengenai mitologi masyarakat Kanekes:
- Buana Nyungcung: the place where Sang Hyang Kersa resides, which is at the top,
- Buana Panca Tengah : tempat tinggal manusia dan makhluk hidup lainnya, terletak di tengah,
- Buana Larang: neraka, terletak di dasar dunia. Konsep ini mirip dengan surga, bumi dan neraka.
Suku Baduy memiliki tradisi berpuasa selama tiga bulan berturut-turut yang disebut Kawulu. Saat suku Baduy melakukan Kawulu, penduduk luar dilarang mengunjungi Baduy Dalam. Jika tetap ingin berkunjung, Anda hanya diperbolehkan masuk ke desa adat Baduy Luar dan juga tidak boleh menginap.
Bagi masyarakat Baduy, Kawulu merupakan kegiatan yang sakral dan tidak boleh diganggu oleh orang luar. Selama Kawulu berlangsung, masyarakat Baduy akan berdoa kepada leluhur agar selalu diberikan keharmonisan dan hasil panen yang melimpah.